Pages

Rabu, 13 April 2011

Bapak No.1 Di Dunia

" dalam diammu, saya tahu bahwa engkau sebenarnya ingin mengutarakan banyak hal. namun semuanya tak sanggup kau katakan. engkau menganggap bahwa, diammu lebih banyak berbicara daripada kata-kata yang kau anggap belum tentu bermakna. dalam diammu, saya tahu satu hal. engkau sangat menyayangiku, wahai Bapakku."

jika 22 desember merupakan hari Ibu, lalu kapan Bapak dikenang jasa-jasanya mengingat tidak adanya hari Bapak?. kalau Rasulullah mengatakan kita harus menghormati Ibu, Ibu, Ibu, baru kemudian bapak. padahal Bapak tidak kalah berjasanya dengan Ibu kita. 

seperi sosok yang satu ini, Bapak saya. sederhana saja namanya : Supardi. tanpa embel-embel titel apapun, hanya Supardi. pria berusia 52 tahun ini sangatlah sederhana dan amat sangat pendiam. pakaian yang dia kenakan sehari-hari tidaklah mewah. ketika seharian dia hanya memakai kaos oblong dan celana pendek (karena Bapak adalah seorang peternak sapi yang sehari-harinya mencari rumput untuk satu-satunya mata pencarian keluarga kami), dan ketika tiba saatnya menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim (sholat), dia berganti pakaian baju koko dan sarung kotak-kotak terkadang garis-garis lengkap dengan peci. sederhana saja. 
sifatnya yang pendiam, terkadang sedikit menyusahkan komunikasi kami. tidak ada kata yang dia ucapkan, dia betah seharian tidak berkata sepatah katapun, hanya berlalu begitu saja. terkadang saya iri dengan teman-teman yang sering menceritakan tutur kata Bapaknya masing-masing. mereka sepertinya selalu bergurau dengan Bapaknya, dan saya tidak pernah. tapi bukan berarti saya kecewa atau marah, karena saat usia 20 tahun ini, saya baru sadar bahwa apa yang tidak dia ucapkan, justru yang terpenting yang harus dia sampaikan. diamnya, syarat akan makna.
bahwa kalimat paling penting yang ingin dia sampaikan dengan sifat pendiamnya adalah, Bapak sangat menyayangi saya jauh melebihi 2 saudara saya. berulang kali kakak perempuan saya marah kepada saya, karena apa-apa yang saya minta selalu saja Bapak penuhi padahal keluarga kami tidak bisa dibilang keluarga yang kaya. dan ketika kakak yang meminta, Bapak sering tidak bisa memenuhinya. pun dengan adik laki-laki saya, Bapak seringkali tidak bisa memenuhi apa yang dimintanya.
tradisi keluarga kami, selepas SMP, semuanya masuk ke SMK, tidak SMA. karena kami beranggapan SMK lebih cepat diterima di dunia kerja selepas lulus nanti daripada lulusan SMA. lulusan SMA pastilah harus melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi agar bisa memperoleh pekerjaan. itu anggapan para orangtua di keluarga kami. dan saya yang pertama membangkang Bapak, saya tidak mau mendaftar di SMK. selepas SMP, saya ingin masuk SMA bukan SMK. karena sejak kecil, cita-cita saya adalah bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. dan keputusan saya ini, mengundang amarah Bapak. 
hasil UN yang pas-pas an, dan diprediksi tidak bisa menembus SMA negeri di kabupaten tidak lantas menyurutkan cita-cita saya untuk masuk di SMA. 
Bapak yang masih marah dengan keputusan saya, memutuskan untuk tidak mengantarkan saya dalam mendaftar masuk SMA yang saat itu menggunakan sistem tinggi-tinggian hasil UN. saya pasrah, mendaftar hanya ditemani kakak saya (yang meskipun kami seringkali bertengkar, sesungguhnya kakak amatlah menyayangi saya). yang paling tidak mengenakkan hati adalah ketika berangkat mendaftar, Bapak mengatakan : wes sak karep karepmu daftar nandi wae. (translet: sudah terserahlah kamu mau mendaftar kemana saja). sungguh, hati ini sedih jadinya.
hanya ada 3 SMA negeri di kabupaten saya : SMAN 1, SMAN 2, dan SMAN 3. dan urutan pamor adalah:
1. SMAN 2
2. SMAN 1
3. SMAN 3
dan yang terakhir adalah yang paling tidak dilirik siswa tamatan SMP, karena meskipun negeri, SMAN 3 terletak diantara sawah-sawah dan disamping kali yang airnya selalu meluap ketika musim penghujan. SMA ini dijadikan alternatif paling akhir, dan bagi anak orang kaya mereka lebih rela sekolah di SMAN kecamatan barang 1 semester kemudian mutasi ke SMAN 2 atau SMAN 1 pada semester 2. itu lebih mahal tentunya, mengingat biaya mutasi memerlukan pelicin disana sini. 
Bapak setengah hati menerima kenyataan bahwa anak kesayangannya yang selalu menentang perintahnya ini akhirnya diterima di SMAN 3. yah, negeri tapi letaknya di desa. dari yang semula SMP di kabupaten, kini harus menimba ilmu di tengah sawah-sawah dan kali. di saat yang lainnya berangkat sekolah menuju ke arah timur (arah kabupaten), saya malah ke arah yang berlawanan yakni ke barat (arah desa). 
tidak seperti saat pertama masuk SMP yang Bapak selalu menanyakan : "opo meneh sing kurang, nduk? kurang tuku opo meneh?" (translet : apa lagi yang kurang, nduk? kurang beli apa lagi?). saat awal masuk SMA, sama sekali tidak ada pertanyaan seperti itu.
lalu saya coba buktikan, saya masihlah pantas sebagai putri kesayangannya. selama 3 tahun di SMA, hanya sekali saya tidak mendapat peringkat 1. lainnya, alhamdulillah saya juara kelas. namun yang paling mengherankan, tidak ada ucapan selamat maupun raut wajah bahagia tergurat di wajah rentanya setiap kali pulang dari mengambil raport. ketika saya yang di rumah bertanya was was : " aku oleh rangking piro, Pak?" (translet : saya dapat rangking berapa, Pak? ). hanya dijawab singkat : "siji" (translet : satu) sambil berlalu menyerahkan buku raport saya. tidak mengacuhkan ekspresi bahagia saya yang meluap, Bapak pergi ke kamar berganti pakaian, kemudian ke belakang mengurus sapi-sapinya. benar-benar tidak ada yang spesial di mata Bapak, tidak ada yang perlu dirayakan (pikirnya).
walaupun saya merengek minta hadiah atas prestasi saya itu, tidak ada tanggapan dari Bapak. tidak ada tanggapan bukan berarti tidak didengarkan. beberapa hari berikutnya, tiba-tiba saja Bapak mengabulkan hadiah yang saya minta itu. kakak dan adik seperti biasa, iri sama saya. (smile...^^), dan biasanya kami akan bertengkar tidak lama setelah itu. meskipun begitu, saya merindukan masa-masa bertengkar itu. kami saling bermusuhan sampai berhari-hari. saling dongkol, dan menyalahkan yang lain. sekarang kakak sudah berkeluarga, ikut ke rumah suaminya, memiliki seorang putri yang cantik (Zahra), dan baru saja bekerja di sebuah RS sebagai staf di cafetaria nya. sementara adik, masih menjadi 'musuh menyenangkan' saya selama ini, karena si Bungsu ini masih kelas 2 SMP.
sekarang, setelah saya (akhirnya) bisa juga mewujudkan keinginann saya untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, saat saya sering jauh dari Bapak, entah mengapa saya menjadi semakin faham dengan cara berkomunikasi Bapak : diam. dengan diam, dia membebaskan apa saja yang ingin saya lakukan namun dia akan sangat marah ketika saya sudah melampaui batas. dengan diam, dia menunjukkan betapa besar kasih sayangnya pada saya. kalau dulu, satu kata amarah dari Bapak saja sudah membuat saya menangis, sekarang satu kata yang dia ucapkan di ujung telepon sana, mampu mebuat air mata ini terus berjatuhan. tidak disangka, ternyata saya sangat menyayanginya, dialah laki-laki yang paling saya hormati. setiap kali berujar di telepon, kalimat pertama dan satu-satunya yang dia ucapkan adalah :"wis sholat?" (translet: sudah sholat?).

biar..biarlah engkau tetap mebisu begitu...karena hal terpenting yang engkau katakan sesungguhnya adalah 'diam'mu itu, Pak.. saya menyayangimu, dan Allah begitu baik memberi saya Bapak sepertimu.. 





2 komentar:

bhakti mengatakan...

oh great, ayah saya kerja di sma yang sawah-sawah itu lho :|

Sofyani Wulansari mengatakan...

iya, bhakti. kamu anak salah seorang guru SMA saya, he... tapi saya belum pernah diajar beliau. InsyaAllah SMA tengah sawah itu skrg sudah lumayan bagus. =)

Posting Komentar