Pages

Jumat, 02 November 2012

Kronologi Part#2


Beberapa sahabatku selalu berdiri disampingku, memberikan semangat dan saran. Mereka selalu menanyakan perkembangan berkas beasiswaku setiap waktu. Dan yang paling utama adalah Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhanku. Semakin aku dekatkan diriku padaNya melalui ibadah-ibadahku seperti sholat, puasa sunnah dan bersedekah. Mungkin terdengar seperti aku melakukan ibadah tersebut hanyalah untuk beasiswa ini semata. Padahal, aku menyadari bahwa adanya beasiswa ini hanyalah perantara agar ada suatu titik balik dalam hidupku dimana aku meningkatkan ibadahku kepadaNya. Tanpa adanya beasiswa ini, mungkin ibadah-ibadahku akan seperti dulu-dulu yang hanya biasa-biasa saja.

Aku berhasil mengirim berkas beasiswa tersebut tepat waktu, dengan banyak sekali rintangan yang menghadang mulai dari susahnya mencari dosen yang bersedia memberikan surat rekomendasi kepadaku sampai rasa khawatir yang berlebihan pada skor TOEFL ITP yang disyaratkan minimal 450. Namun sekali lagi, aku mengucap syukur kepada Allah yang telah mengijinkanku untuk menjalani langkah awal ini dengan lancar. Dan akupun tetap menjaga agar berita bahwa aku sedang mengirim berkas beasiswa IELSP hanya diketahui oleh orang-orang yang terbatas. Karena ini barulah langkah awal, langkah kecil yang belum ada apa-apanya. Aku tidak mau jikalau aku sudah gembar-gembor tentang ini ke semua orang dan akhirnya adalah aku tidak lolos seleksi beasiswa. Ini akan sangat memalukan bagiku, oleh karenanya aku juga berbicara pada orangtua, keluarga, dan para sahabatku untuk tetap menjaga berita ini.


Dua minggu setelah tanggal pengiriman berkas, aku merasa gundah. Aku mengikuti perkembangan beasiswa ini di grup salah satu jejaring sosial yang khusus dibuat oleh para pendaftar beasiswa IELSP. Jauh sebelum pengiriman berkas, mereka sudah membentuk grup ini dan meng-update berita terbaru sehingga akupun setia mengamatinya tanpa berani menunjukkan identitasku karena aku masih malu jikalau aku sudah terlanjur koar-koar di grup ini dan ternyata aku tidak diterima sebagai grantee (sebutan penerima beasiswa IELSP). Beberapa kawan di seberang sana sudah ada yang dihubungi oleh pihak IIEF dan mereka dinyatakan lolos seleksi berkas untuk kemudian menjalani tahap selanjutnya yaitu tes wawancara. Berulang kali aku mengunjungi website IIEF namun belum juga ada pengumuman tertulis siapa-siapa saja yang berhak lolos ke tes wawancara. Mereka akan menelepon kami satu-persatu dalam waktu dekat sebelum pada saatnya mereka mengunggah daftar nama peserta yang lolos seleksi berkas.

Selasa pagi di awal bulan Desember, entah mengapa aku tiba-tiba ingin membuka website IIEF. Disana aku menemukan berita terbaru mengenai beasiswa ini, segera aku buka dan aku dihadapkan dengan berbaris-baris penuh satu halaman berisikan nama-nama peserta yang lolos tahap seleksi berkas. Sekitar 800 lebih nama dan asal universitasnya di halaman tersebut dan membacanya satu persatu membuat mataku lelah namun tetap kulakukan dengan dada yang berdegup sangat kencang seolah-olah ditabuh bagai gendering perang. Dengan sabar aku membacanya dari satu baris ke baris berikutnya, sebab daftar nama tersebut dibuat mendatar dan hanya dipisahkan oleh nomor peserta. Semuanya ditulis seperti sambung-menyambung. Padahal ada cara cepat yaitu Ctrl+F dan aku tinggal mengetikkan namaku namun aku terlalu gaptek untuk mengetahui cara tersebut. Dan akhirnya aku berhasil menemukan namaku tertulis disana, di nomor urut 725 (yah, aku masih ingat betul). Seketika aku bersimpuh sujud syukur, menahan haru sekaligus syukur yang meluap-luap. Aku ambil telepon genggam dan segera ku kabari bapak dan ibu.

Aku maju selangkah lebih dekat dengan beasiswa ini, aku tidak mau terlena dengan pengumuman tersebut. Sekali lagi aku meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah langkah kecil lainnya yang berhasil kulalui atas ijinNya. Sekali lagi akupun memberitahu keluarga dan para sahabat untuk tetap menjaga agar hasil kecil ini tidak diketahui banyak orang. Bukannya aku pelit dan tidak mau membagi kabar bahagia, namun aku berprinsip bahwa aku semua akan kubagi ketika aku sudah benar-benar dinyatakan sebagai grantee. Jarak waktu antara pengumuman tersebut dengan pelaksanaan tes wawancara sangatlah dekat sekitar satu minggu. Pada minggu kedua di bulan Desember, aku menjalani tahap selanjutnya yaitu tes wawancara di universitas sebelah karena secara kebetulan pelaksanaan tes wawancara untuk regional Jawa Timur adalah di Kota Malang sehingga aku tidak perlu jauh-jauh untuk mencapai tempat tes wawancara.

Di tanggal yang ditentukan, aku bersiap menghadapi tes wawancara yang amat mendebarkan itu. Tes wawancara adalah tahap kedua sekaligus penentu lolos tidaknya aku sebagai grantee. Aku tidak mau usahaku yang sampai sejauh ini menjadi sia-sia belaka. Disamping juga aku tidak mau menjadi pembantah atas takdir yang telah Dia tuliskan. Aku tidak ingin terlalu optimis namun juga tidak rela jika menjadi seorang yang pesimis. Aku mau berada diantaranya, yaitu menjadi pribadi yang ikhlas dalam setiap usaha. Yakin melakukan yang terbaik, dan mengharapkan hasil yang terbaik menurut Allah semata. Karena aku datang terlalu pagi, maka aku putuskan untuk pergi ke masjid di universitas tersebut untuk membasuh muka dengan air wudhu dan ku tunaikan dua rakaat sholat Dhuha. Sembari mengucap istighfar berkali-kali untuk meredam gemuruh di dada yang tak kunjung reda.

Jadwal tes wawancara pada hari itu terpaksa diundur beberapa jam sebab salah seorang juri belum hadir lantaran pesawatnya terkena delay. Aku menatap penjuru aula tempat akan dilangsungkannya tes wawancara tersebut dengan seksama, semua peserta riuh bergerombol, mempraktekkan bahasa Inggris mereka satu sama lain, melakukan simulasi wawancara kecil-kecilan. Keadaan itu semakin membuat gemuruh di dadaku menjadi-jadi. Aku putuskan untuk keluar aula, duduk di pinggir-pinggir dan berharap mendapat kenalan yang tidak sedang practice in English sebab aku sangat gugup dan serasa ingin menangis karena kata gagal beberapa kali ada di benakku. Buru-buru aku menepisnya, dan berusaha melakukan percakapan standar kepada kenalan baruku yang berasal dari Kabupaten Ponorogo. Kami bercakap-cakap ringan, sambil tertawa rileks. Sesekali kami juga menyinggung masalah tes wawancara nantinya, namun tidak terlalu sering. Pembicaraan yang mendominasi justeru cerita-cerita pengalaman pribadi kami selama kuliah. Dan hal ini sangat membantu menurunkan gemuruh tersebut, lebih berkurang frekuensinya dari sebelumnya.

Tak lama kemudian pihak panitia mengumumkan bahwa tes wawancara akan dimulai sebentar lagi. Semua peserta merapat ke tengah aula dan wajah-wajah tegang terlihat di segala penjuru. Setelahnya, kami segera mencari ruangan kami masing-masing. Aku ditempatkan di ruangan satu dan mendapat nomor urut tujuh. Lama sekali aku menunggu giliranku dipanggil, sehingga kuputuskan untuk memenuhi panggilan adzan Dhuhur terlebih dahulu sementara peserta nomor urut empat sedang berada di dalam ruangan. Kembali dari sholat Dhuhur, aku mendapati bahwa peserta nomor enam sudah berada di dalam ruangan dan akupun segera bersiap di depan pintu. Sambil kuperdengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an dari telepon genggamku agar menambah kekuatanku untuk menghadapi tes wawancara yang sudah di depan mata. Aku berharap ibu ada di sampingku saat itu juga, menggenggam tanganku dan menenangkanku. Peserta nomor urut enam keluar dari ruangan satu dengan wajah lega dan giliranku pun tiba. Kuucap basmalah (bismillahirrahmanirrahim) dan kulangkahkan kakiku ke dalam ruangan.

0 komentar:

Posting Komentar