Beberapa
sahabatku selalu berdiri disampingku, memberikan semangat dan saran. Mereka
selalu menanyakan perkembangan berkas beasiswaku setiap waktu. Dan yang paling
utama adalah Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhanku. Semakin aku dekatkan diriku
padaNya melalui ibadah-ibadahku seperti sholat, puasa sunnah dan bersedekah.
Mungkin terdengar seperti aku melakukan ibadah tersebut hanyalah untuk beasiswa
ini semata. Padahal, aku menyadari bahwa adanya beasiswa ini hanyalah perantara
agar ada suatu titik balik dalam hidupku dimana aku meningkatkan ibadahku
kepadaNya. Tanpa adanya beasiswa ini, mungkin ibadah-ibadahku akan seperti
dulu-dulu yang hanya biasa-biasa saja.
Aku berhasil
mengirim berkas beasiswa tersebut tepat waktu, dengan banyak sekali rintangan
yang menghadang mulai dari susahnya mencari dosen yang bersedia memberikan
surat rekomendasi kepadaku sampai rasa khawatir yang berlebihan pada skor TOEFL
ITP yang disyaratkan minimal 450. Namun sekali lagi, aku mengucap syukur kepada
Allah yang telah mengijinkanku untuk menjalani langkah awal ini dengan lancar.
Dan akupun tetap menjaga agar berita bahwa aku sedang mengirim berkas beasiswa
IELSP hanya diketahui oleh orang-orang yang terbatas. Karena ini barulah
langkah awal, langkah kecil yang belum ada apa-apanya. Aku tidak mau jikalau
aku sudah gembar-gembor tentang ini ke semua orang dan akhirnya adalah aku
tidak lolos seleksi beasiswa. Ini akan sangat memalukan bagiku, oleh karenanya
aku juga berbicara pada orangtua, keluarga, dan para sahabatku untuk tetap
menjaga berita ini.
Dua minggu
setelah tanggal pengiriman berkas, aku merasa gundah. Aku mengikuti
perkembangan beasiswa ini di grup salah satu jejaring sosial yang khusus dibuat
oleh para pendaftar beasiswa IELSP. Jauh sebelum pengiriman berkas, mereka
sudah membentuk grup ini dan meng-update
berita terbaru sehingga akupun setia mengamatinya tanpa berani menunjukkan
identitasku karena aku masih malu jikalau aku sudah terlanjur koar-koar di grup
ini dan ternyata aku tidak diterima sebagai grantee
(sebutan penerima beasiswa IELSP). Beberapa kawan di seberang sana sudah ada
yang dihubungi oleh pihak IIEF dan mereka dinyatakan lolos seleksi berkas untuk
kemudian menjalani tahap selanjutnya yaitu tes wawancara. Berulang kali aku
mengunjungi website IIEF namun belum juga ada pengumuman tertulis siapa-siapa
saja yang berhak lolos ke tes wawancara. Mereka akan menelepon kami
satu-persatu dalam waktu dekat sebelum pada saatnya mereka mengunggah daftar
nama peserta yang lolos seleksi berkas.
Selasa pagi di
awal bulan Desember, entah mengapa aku tiba-tiba ingin membuka website IIEF.
Disana aku menemukan berita terbaru mengenai beasiswa ini, segera aku buka dan
aku dihadapkan dengan berbaris-baris penuh satu halaman berisikan nama-nama
peserta yang lolos tahap seleksi berkas. Sekitar 800 lebih nama dan asal
universitasnya di halaman tersebut dan membacanya satu persatu membuat mataku
lelah namun tetap kulakukan dengan dada yang berdegup sangat kencang
seolah-olah ditabuh bagai gendering perang. Dengan sabar aku membacanya dari
satu baris ke baris berikutnya, sebab daftar nama tersebut dibuat mendatar dan
hanya dipisahkan oleh nomor peserta. Semuanya ditulis seperti sambung-menyambung.
Padahal ada cara cepat yaitu Ctrl+F dan aku tinggal mengetikkan namaku namun
aku terlalu gaptek untuk mengetahui cara tersebut. Dan akhirnya aku berhasil
menemukan namaku tertulis disana, di nomor urut 725 (yah, aku masih ingat
betul). Seketika aku bersimpuh sujud syukur, menahan haru sekaligus syukur yang
meluap-luap. Aku ambil telepon genggam dan segera ku kabari bapak dan ibu.
Aku maju
selangkah lebih dekat dengan beasiswa ini, aku tidak mau terlena dengan
pengumuman tersebut. Sekali lagi aku meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah
langkah kecil lainnya yang berhasil kulalui atas ijinNya. Sekali lagi akupun
memberitahu keluarga dan para sahabat untuk tetap menjaga agar hasil kecil ini
tidak diketahui banyak orang. Bukannya aku pelit dan tidak mau membagi kabar
bahagia, namun aku berprinsip bahwa aku semua akan kubagi ketika aku sudah
benar-benar dinyatakan sebagai grantee.
Jarak waktu antara pengumuman tersebut dengan pelaksanaan tes wawancara
sangatlah dekat sekitar satu minggu. Pada minggu kedua di bulan Desember, aku
menjalani tahap selanjutnya yaitu tes wawancara di universitas sebelah karena
secara kebetulan pelaksanaan tes wawancara untuk regional Jawa Timur adalah di
Kota Malang sehingga aku tidak perlu jauh-jauh untuk mencapai tempat tes
wawancara.
Di tanggal yang
ditentukan, aku bersiap menghadapi tes wawancara yang amat mendebarkan itu. Tes
wawancara adalah tahap kedua sekaligus penentu lolos tidaknya aku sebagai grantee. Aku tidak mau usahaku yang
sampai sejauh ini menjadi sia-sia belaka. Disamping juga aku tidak mau menjadi
pembantah atas takdir yang telah Dia tuliskan. Aku tidak ingin terlalu optimis
namun juga tidak rela jika menjadi seorang yang pesimis. Aku mau berada
diantaranya, yaitu menjadi pribadi yang ikhlas dalam setiap usaha. Yakin
melakukan yang terbaik, dan mengharapkan hasil yang terbaik menurut Allah
semata. Karena aku datang terlalu pagi, maka aku putuskan untuk pergi ke masjid
di universitas tersebut untuk membasuh muka dengan air wudhu dan ku tunaikan
dua rakaat sholat Dhuha. Sembari mengucap istighfar berkali-kali untuk meredam
gemuruh di dada yang tak kunjung reda.
Jadwal tes
wawancara pada hari itu terpaksa diundur beberapa jam sebab salah seorang juri
belum hadir lantaran pesawatnya terkena delay.
Aku menatap penjuru aula tempat akan dilangsungkannya tes wawancara
tersebut dengan seksama, semua peserta riuh bergerombol, mempraktekkan bahasa
Inggris mereka satu sama lain, melakukan simulasi wawancara kecil-kecilan.
Keadaan itu semakin membuat gemuruh di dadaku menjadi-jadi. Aku putuskan untuk
keluar aula, duduk di pinggir-pinggir dan berharap mendapat kenalan yang tidak
sedang practice in English sebab aku
sangat gugup dan serasa ingin menangis karena kata gagal beberapa kali ada di
benakku. Buru-buru aku menepisnya, dan berusaha melakukan percakapan standar
kepada kenalan baruku yang berasal dari Kabupaten Ponorogo. Kami bercakap-cakap
ringan, sambil tertawa rileks. Sesekali kami juga menyinggung masalah tes
wawancara nantinya, namun tidak terlalu sering. Pembicaraan yang mendominasi
justeru cerita-cerita pengalaman pribadi kami selama kuliah. Dan hal ini sangat
membantu menurunkan gemuruh tersebut, lebih berkurang frekuensinya dari
sebelumnya.
Tak lama
kemudian pihak panitia mengumumkan bahwa tes wawancara akan dimulai sebentar
lagi. Semua peserta merapat ke tengah aula dan wajah-wajah tegang terlihat di
segala penjuru. Setelahnya, kami segera mencari ruangan kami masing-masing. Aku
ditempatkan di ruangan satu dan mendapat nomor urut tujuh. Lama sekali aku
menunggu giliranku dipanggil, sehingga kuputuskan untuk memenuhi panggilan
adzan Dhuhur terlebih dahulu sementara peserta nomor urut empat sedang berada
di dalam ruangan. Kembali dari sholat Dhuhur, aku mendapati bahwa peserta nomor
enam sudah berada di dalam ruangan dan akupun segera bersiap di depan pintu.
Sambil kuperdengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an dari telepon genggamku agar
menambah kekuatanku untuk menghadapi tes wawancara yang sudah di depan mata.
Aku berharap ibu ada di sampingku saat itu juga, menggenggam tanganku dan
menenangkanku. Peserta nomor urut enam keluar dari ruangan satu dengan wajah
lega dan giliranku pun tiba. Kuucap basmalah (bismillahirrahmanirrahim) dan
kulangkahkan kakiku ke dalam ruangan.
0 komentar:
Posting Komentar